Wednesday 22 February 2012

My Hero

You know you are being mature enough as an adult when you start understanding the problems of your parents.. And now I feel it.

Ketika kamu sudah beranjakn dewasa, mau tidak mau kamu harus mengerti mengenai problematika kehidupan yang akan kamu jalani. Atau saat kamu tidak sadar apakah kamu sudah beranjak dewasa atau belum, kamu akan mulai menyadarinya ketika kamu sudah mengerti apa yang sedang dirasakan kedua orangtuamu.

Sejak duduk di bangku SMA, saya hidup jauh dari keluarga dan jauh dari kampung halaman. Saya tidak begitu mengenal dekat orang-orang di kampung saya atau bahkan saudara-saudara jauh saya. Sekedar tau nama dan berasal dari keluarga siapa, cukup bagi saya. Namun ternyata, hidup bukan hanya sekedar itu.

Banyak masalah yang muncul satu persatu semenjak saya mulai hidup menetap di kampung halaman saya ini. Hidup memang penuh dengan masalah. Adalah suatu masalah, jika hidup tanpa masalah, begitu kata orang. Yaa.. Kali ini saya mulai menyesuaikan. Masalah tersebut beragam jenisnya. Ada yang menggilai jabatan, ada yang menggilai uang dan harta kekayaan, ada pula yang menggilai hal yang tidak penting.

Di keluarga saya, orang yang bertanggung jawab atas hal-hal yang menyangkut keluarga besar disini adalah ayah saya. Siapa pun akan berurusan dengan ayah saya jika berkaitan dengan hal-hal internal keluarga. Bahkan sepertinya tidak ada masalah yang tidak bisa tidak diselesaikan oleh ayah saya. Meskipun ada beberapa orang yang salah kaprah atas kecuekan sikap yang ayah saya tunjukkan, namun saya selalu tahu bahwa dibalik itu semua, ayah saya memang sangat perhatian.

Ayah saya sangat kuat. Dia adalah orang terkuat yang pernah saya temui. Keluh kesah tidak pernah sedikitpun saya dengar dari mulutnya, bahkan ketika fisiknya pernah sedang sangat terluka. Ia adalah satu-satunya orang yang membuat saya percaya bahwa manusia benar-benar bisa mengontrol emosinya pada kondisi apapun, bahkan kondisi buruk sekalipun. 

Ayah saya taat sekali beragama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat sunnahnya. Pernah saya melihat ayah saya keluar kamar. Ia tidak bisa tidur. Sambil berkata "Terlalu lelah.. Banyak urusan, jadi sulit tidur", ia lalu pindah ke kamar tengah dan mengencangkan level kipas angin. Beberapa menit kemudian, saya pikir ia akan segera pergi tidur. Tapi ternyata ia memutuskan untuk membaca ayat suci Alquran. Mungkin hal itu ia lakukan agar pikirannya bisa sedikit tenang. Oh.. Ayah. Meskipun terkadang aku sangat tidak suka caramu berkomunikasi, tapi aku selalu tidak pernah tidak ingat untuk mengagumimu. Selalu saja ada hal yang bisa membuatku ingin menulis semua rangkaian kata-kata ini untuk menjadi sebuah buku hanya untuk menceritakan betapa kagumnya aku padamu.

I love you, my hero..

Sunday 19 February 2012

SoundCloud

Tidak ada yang menarik sebenarnya dari suara saya. Meskipun saya pernah menjadi anggota tim sopran Paduan Suara Mahasiswa di kampus selama kurang lebih dua tahun, saya tidak merasa suara saya cukup bagus untuk ditampilkan dalam bentuk solo. Suara saya selalu goyang dan pitchnya tidak pernah tepat saat bernyanyi solo. Tetapi karena banyak teman saya berpendapat bahwa suara saya enak didengar, jadi saya beranikan diri untuk meng-cover beberapa lagu dan mempostingnya di SoundCloud.

Ini adalah akun SoundCloud saya. Boleh difollow jika berkenan :)

Dan ini adalah salah satu SoundCloud saya, meng-cover lagu Raisa, Apalah Arti Menunggu:

Sudah didengar dan dinikmati? Benar kan? Masih banyak nada-nada yang tidak pas :p

Saturday 11 February 2012

Between Indonesian and Australian in Taiwan

Setelah pertemuan di Alishan, saya dan Steven tidak pernah bertemu lagi. Ia melanjutkan perjalanannya menuju Tainan dari Chiayi, dan saya melanjutkan kembali ke Taichung. Saya menyempatkan berpetualang ke Sun Moon Lake, dan ia menikmati petualangannya di Tainan.

Setelah beberapa hari kemudian setelah kembali dari Alishan, saya melihat Steven sudah update di facebook profilenya. Nampaknya ia sudah kembali ke Taipei. Dia pun sempat mengomentari album foto saya ketika saya di Sun Moon Lake. Dia bilang bahwa Sun Moon Lake sangat indah. Saya menyetujui pendapatnya, namun ketika saya berkata bahwa 'nothing can compete the beauty of Alishan', ia tak bisa menyetujui lebih dari pada itu. Ia nampaknya sangat mencintai Alishan lebih dari apapun.

Di Taichung sekalipun, kita berdua tidak pernah kehilangan komunikasi. Kita tetap berkomunikasi lewat skype. Kita berdua bercerita banyak. Ia bercerita tentang Tainan, dan saya bercerita tentang Taichung. Tapi ia tidak pernah terlewat untuk selalu memuji Alishan yang keindahannya melebihi apapun, menurutnya. Saya tidak tahu apa yang ia maksud. Melihat foto-foto di handycamnya, saya rasa Taroko dan Tainan justru jauh sekali lebih indah daripada Tainan. Pada malam itu, ketika kita sedang membicarakan tentang Alishan, saya ingin sekali membicarakan masalah yang lebih personal dan sekaligus mengucapkan banyak terima kasih karena sudah menjadi sahabat yang sangat baik kepada saya. Malam itupun saya berniat untuk menyuruh Steven mengunjungi saya di bandara pada saat saya pulang nanti. Namun saya sangat canggung. Saya pun mengurungkan niat dan mengakhiri perbincangan di skype.

Untuk membingkai semua kenangan yang telah saya dan Steven lewati bersama, saya akhirnya membuatkan dia video sederhana ini:

http://www.youtube.com/watch?v=b8lGXff3Yko

Video ini saya buat semalam sebelum keberangkatan ke Indonesia. Saya menyeleksi foto-foto di album saya yang saya ambil ketika kita berdua jalan bersama. Saya susun foto-foto tersebut dari pertama kali kita bertemu sampai terakhir kali kita jalan bersama. Dari sini saya baru sadar, bahwa saya sudah sangat dekat sekali dengan dia. Dengan backsound lagu yang saya pertama kali dengar di komputer milik adik laki-laki teman saya di rumah di Taichung itu, akhirnya saya memutuskan untuk menjadi lagu di video saya. Lagunya cocok sekali. Sangat sangat cocok sekali! Berjudul If I Let You Go dari Westlife, lagu tersebut mewakili perasaan saya yang sebenarnya tidak ingin berpisah dengan dia.

Satu malam sebelum keberangkatan di Indonesia, saya berniat untuk melakukan misi tersebut. Saya harus mengungkapkan perasaan saya. Saya tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengan dia.. Dengan bantuan saran dari mantan teman sekamar saya dari Vietnam, dan juga sahabat saya dari Indonesia, saya akhirnya bertekad bulat mengatakan perasaan saya kepada dia. Tapi saya tidak ingin dianggap sepele. Saya tidak menaruh kata 'like', apalagi kata 'love'. Saya hanya mengatakan bahwa 'i am so into you'. Dengan kata-kata ringan yang sudah saya siapkan dan video yang sudah saya upload ke youtube, akhirnya saya dan Steven berbincang-bincang ringan.

Berikut adalah isi ungkapan yang saya tulis untuk Steven di malam terakhir sebelum kepulangan saya ke Indonesia. Saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.


Teruntuk, Steven.
Sudah lama sekali kita bersama semenjak kita pertama kali bertemu di konferensi Taiwan dua bulan lalu.
... dan saya menemukan banyak sekali kejanggalan di kehidupan saya selama exchange semenjak saat itu.


Apakah kamu tahu?


Kamulah orang yang membuat saya selalu menghapus berkali-kali kata-kata hanya untuk terdengar pantas baru saya bisa mengirimkannya kepada kamu ketika kita sedang mengobrol di Skype.


Kamulah orang yang membuat saya selalu mengganti berkali-kali baju hanya untuk terlihat menarik di depan kamu ketika kita akan jalan bersama.


Kamulah orang yang membuat saya selalu membuat saya sangat gugup dan membuat saya memikirkan banyak sekali topik pembicaraan hanya untuk terlihat lebih alami setiap kita akan mengobrol.

.. pada intinya, kamu adalah orang yang telah membuat exchange saya di Taiwan menjadi sangat berwarna.

 Pertama kali, saya sedikit ragu.
Namun sekarang saya tahu, i am into you.


Saya tidak tahu alasan mengapa saya harus mengatakan ini.
Anggaplah ini sebagai sebuah apresiasi untuk sahabat terdekat dan terbaik selama exchange di Taiwan.
Lagipula, saya tidak tahu kapan saya akan bisa bertemu denganmu lagi.


Tidak ada hal lain yang saya harapkan.
Ingatlah saya, seorang gadis Indonesia yang pernah sangat dekat sekali denganmu selama exchange-mu. 


Saya harap saya tidak pernah mengatakan selamat tinggal kepadamu..

Saya mengirimkan kalimat panjang tersebut bersamaan dengan link video yang telah saya buat. Steven sangat menyukai video tersebut, ia juga sangat terkesan dengan kata-kata saya. Kita mengobrol mengenai momen-momen yang kita lewati selama di Alishan. Dia berkata bahwa momen-momen yang terjadi di Alishan adalah momen-momen yang paling akan ia tidak lupakan ketika ia kembali ke negaranya. Saya sangat terharu. Malam terakhir di Taiwan menjadi penutup yang sangat sempurna.

Inilah yang disebut Winter Love, atau cinta semusim. Cinta yang terjadi hanya ketika musim itu berlangsung, dan akan kembali normal ketika musim itu berakhir. Cinta yang tumbuh karena kebersamaan selama exchange, dan akan kembali normal saat kita kembali ke negara kita masing-masin..


Terima kasih Taiwan..
Sampai jumpa di suatu hari nanti, Steve..

Friday 10 February 2012

Winter Love - Part VI (Tataka, Chiayi)

Saat saya bangun dan membuka mata di pagi hari itu, Steven lah orang pertama yang saya lihat. Meskipun ada jarak yang cukup renggang diantara selimut saya dan selimut miliknya, saya masih bisa melihat dengan jelas rambutnya dari belakang. Dia tidur sangat rapi di dalam selimut tebalnya. Mungkin karena ia tidak ingin sampai ketika ia tidur, anggota tubuhnya ada yang menyentuh saya. Laki-laki yang sopan.

Pagi itu kita berlima berencana untuk pergi ke atas gunung di Alishan untuk melihat sunrise. Tapi sayang, hujan pagi itu membuat kita tak punya pilihan lain selain melanjutkan tidur.

Sekitar jam 10 pagi, kita berlima dan juga keluarga Dipu berkumpul di halaman rumah untuk menyantap sarapan yang sudah disediakan keluarga Dipu. Sambil mengobrol ringan, kita berempat sebagai tamu dari Dipu menulis kata-kata mutiara untuk Dipu di sebilah kayu yang Dipu sudah sediakan. Lain halnya dengan Yukan yang menulis kata-kata indaha untuk Dipu, saya justru menulis dan menggambar sedikit kebudayaan tentang Indonesia. Saya pun sedikit membubuhkan kaliamt arab pada sebilah kayu tersebut. Steven nampaknya terkesan dengan apa yang sedang saya lakukan. Dia pun mengambil gambar saya yang sedang menggambar tersebut.

Bisa saya katakan, Steven banyak mengambil gambar saya. Dia sangat senang mempelajari sejarah dan kebudayaan. Sedangkan seperti yang kalian tahu bahwa Indonesia memiliki banyak kebudayaan. Selama di Taiwan, saya selalu menyempatkan diri untuk memperkenalkan atau bahkan mempraktekan kebudayaan Indonesia yang sudah saya siapkan. Itulah mengapa semua orang selalu menganggap saya spesial.

Sehabis sarapan, kita berpamitan kepada keluarga Dipu yang sudah memperlakukan kita berempat dengan sangat baik selama di Alishan. Kita pun berfoto. Saya menyempatkan berfoto bersama Arkus dan Yukan yang kebetulan memakai syal yang cukup tebal pagi itu. Saya menyuruh mereka untuk membuat syal tersebut menjadi kerudung seperti saya. Dan kita pun berfoto dengan pose bak muslimah. Seru sekali!

Sebelum kita kembali ke Chiayi, Dipu mengajak kita berempat pergi mengunjungi Tataka. Sebenarnya kita akan mengunjungi Chiayi National Museum. Tapi museum tersebut sangat luas, sehingga kita hanya mengunjungi Tataka Visitor Center nya saja. Disana hanya bangunan biasa. Kita hanya rehat sejenak lalu kembali ke Alishan untuk afternoon-tea.



Selama perjalanan, saya bersikap sangat manja kepada teman saya Arkus. Meskipun dia laki-laki, tapi sikapnya yang keperempuan-perempuanan membuat saya nyaman sekali dekat dengan dia. Sepanjang jalan, saya hanya bersandar dan menyuruh Arkus yang saya panggil Tanteu untuk menggenggam tangan saya. Tangan saya selalu dingin. Saya tidak tahu mengapa. Selama dua bulan di Taiwan, meskipun saya sudah memakai jaket yang tebal, tangan saya selalu mudah untuk kedinginan. Pada saat itu, dengan memanfaatkan keadaan dimana saya akrab sekali dengan Tanteu, saya pun menyuruh Steve yang duduk di sebelah kanan saya untuk menggenggam tangan kanan saya. Saya tidak merasa kedinginan lagi. Tangan kiri saya digenggam Tanteu, dan tangan kanan saya di genggam Steve. Meskipun tidak ada niat untuk bersikap romantis, tapi alasan saya kedinginan bisa menjadi alasan yang bagus untuk mendekatkan diri dengan sahabat saya Steven ini. Saya rasa, Steve sangat menikmati genggaman yang kita lakukan. Perjalanan yang cukup jauh pun membuat saya mengantuk. Dan saya pun sempatkan diri saya untuk bersandar di bahu Steve, karena hari itu adalah hari terakhir saya bertemu dengan Steven. Perjalanan pulang di Alishan menjadi perjalanan terhangat yang pernah saya rasakan selama di Taiwan.



Terima kasih banyak Alishan.. Terima kasih banyak Steven.. Sampai jumpa lagi.

Winter Love - Part V (Alishan)

Bulan madu? Mungkin iya. Hahaha. Katakan saja begitu. Karena hanya akan ada saya dan Steven yang menjadi peserta exchangenya. Saya pergi menuju Chiayi sendirian dari Taichung, dan saya akan bertemu Steven dan gurunya beserta satu orang temannya. Kita bertemu di Chiayi Station sekitar pukul 11 siang hari. Gurunya bernama Yukan, dan temannya bernama Arkus. Steven sangat sangat sangat baik dan perhatian sekali kepada saya selama di Chiayi dan Alishan. Ternyata dia telah bercerita banyak mengenai saya di hadapan guru dan teman gurunya. Saya sangat terkagum.

Sesampainya di Alishan, kita dijemput oleh teman kecil gurunya. Ia bernama Dipu. Tujuan kita mengunjungi Alishan adalah Yukan ingin mengadakan reuni kecil dengan Dipu. Yukan pun sudah menjamin segala hal selama kita di Alishan bahwa semua akomodasi dan makan serta transport di Alishan akan ditanggung Dipu. Itulah mengapa saya bersedia datang ke Alishan.

Kiri ke kanan: Steven - Saya - Dipu - Yukan - Arkus

Hari pertama di Alishan, kita berkeliling halaman dan kebun rumahnya Dipu. Rumahnya sangat unik. Terletak di atas gunung dengan segala kebun-kebun yang bisa langsung dikonsumsi hasilnya dan diolah sebagai bahan makanan. Sangat alami sekali. Kita berempat sangat puas.



Yang saya suka dari Alishan adalah, jika kita mendaki gunung di negara kita, maka yang kita lihat di sisi kiri dan kanannya adalah pohon cemara. Tetapi di Alishan, sepanjang jalan kita mendaki gunung, maka di sisi kiri dan kanan kita adalah pohon sakura. Bahkan sakura pun tumbuh di pekarangan rumah Dipu. Sangat indah..



Setelah puas mengeliling wilayah Dipu, ia pergi mengajak kita mengunjungi suatu tempat yang cukup terkenal di Alishan, yaitu Fen Chi Hu Old Station. Kiat berlima mengambil gambar, berpose gila dan bersenda gurau selama disana. Saya banyak mengobrol dengan Arkus, karena saya memang sangat suka berteman dengan laki-laki yang sifatnya kewanitaan, seperti Arkus. Arkus pun saya panggil 'Tanteu' dan ia menyetujuinya.

Dengan sikap saya yang sangat ceria, dan keluar sifat asli saya yang begitu cerewet di depan Arkus, saya pun memanfaatkan keadaan ini agar bisa lebih dekat dengan Steven. Sifatnya yang mulai membaur selama di Alishan membuat saya dan Steven semakin akrab.

Hari pertama kita berlima habiskan untuk mengunjungi Fen Chi Hu Old Station, Fen Chi Hu Night Market, pohon menyan tertua dengan umur sekitar 2 abad, mengemil donat dan minuman jelly khas Alishan, afternoon Alishan tea, dan juga menikmati matahari terbenam yang sangat luar biasa indahnya! Saya cinta Alishan!



Diantara semua momen-momen di Alishan, saya sangat suka berada di dalam mobil. Karena di dalam mobil, saya bisa duduk tanpa jarak dengan Steven. Dipu menyetir, dan Yukan duduk di depan menemani Dipu. Otomatis kami bertiga berdempetan duduk di kursi belakang. Bukan hanya duduk berdekatan, saya pun sering kali bersender di bahu Steven. Saya sering melakukan perbuatan sangat akrab dengan Arkus layaknya perbuatan seperti ke kakak perempuan sendiri. Saya pun tidak sungkan melakukannya kepada Steven karena saya rasa Steven sudah  terbiasa melihat saya dekat dengan Arkus. Steven pun tidak pernah menolak setiap saya dekat dan akrab dengan dia.

Namun kejadian paling romantis terjadi pada malam hari di rumah Dipu. Kita berlima ditambah dengan keluarga Dipu merayakan tahun baru cina dengan mengadakan barbeque. Sebelum barbeque dimulai, Dipu mengajak kita berempat pergi ke atas gunung untuk melihat langit dan bintang. Semua lampu dimatikan. Saya berangkulan dengan Arkus dan Steven pun menyusul. Selama melihat bintang, Steven pun merangkul saya.. Sungguh momen yang sangat indah.

Setelah selesai melihat bintang, kita kembali melanjutkan barbeque. Kita bersama menghabiskan malam dengan makan sambil bernyanyi-nyanyi. Yukan menyanyi dengan suara merdunya yang aboriginal sekali, dan Dipu memetik gitar. Waktu berjalan sangat cepat. Tak terasa saya pun merasa sangat lelah. Saya duduk dekat Steven, dan pada malam itu Steven sangat perhatian sekali. Mungkin ia sadar bahwa saya adalah satu-satunya teman dari jauh yang ia miliki pada saat itu, dan saya perempuan diantar semua laki-laki disana sehingga Steven menjaga saya dengan sangat baik. Entah Steven melihat sekali wajah saya yang sangat kelelahan atau memang ia ada sesuatu, dengan sangat lembut ia menawarkan "You are sleepy, aren't you? Do you need my shoulder?", saya yang sudah mengangguk saat ia bertanya apakah saya mengantu, saya langsung bersandar di bahunya. Saya tertidur di bahu Steven, sampai Dipu mempersilakan saya untuk pergi tidur lebih dulu dari mereka. Saat saya mengiyakan, Steven adalah satu-satunya orang yang mengantarkan saya menuju tempat tidur.

Kita hanyalah tamu disana. Keluarga Dipu telah menyediakan empat buah kasur dengan empat buah selimut di ruang tamu. Saya tidak mungkin tidur di tengah di antar laki-laki ini, pikir saya. Saya pun memilih tempat tidur paling ujung dekat dinding. Saya tidak tahu siapa yang akan tidur di samping saya. Namun saya pikir, tidak mungkin guru  Steven akan tidur di samping saya, bahkan Arkus yang dekat sekali sekalipun tidak akan mungkin tidur di sebelah saya. Steven lah teman saya dan kita berdua datang dari tempat dan organisasi yang sama di Taiwan. Steven sangat sopan kepada saya. Selalu. Dia selalu memperlakukan saya secara baik-baik sekali. Mungkin karena ia sangat tahu dengan agama yang saya anut. Sebelum tidur pun, Steven berkata "Is that okay for me to sleep here beside you?". Saya hanya mengangguk kagum atas kesopanannya.

Sekali lagi, saya cinta Alishan!

Winter Love - Part IV (Farewell and Dinner at Shida)

Malam ini adalah pertemuan ke enam dengan Steven dan pertemuan terakhir dengan Yaw, setelah sehari sebelumnya saya, Yaw dan kedua adiknya pergi bersama mengunjungi National Palace Museum. Kita bertemu bersama di malam hari. Di siang hari, mereka sibuk dengan acaranya masing-masing. Yaw dan kedua adiknya pergi mengunjungi Jiufen dan Steven memiliki acara farewell di sekolahnya. Saya yang hanya menganggur saja memutuskan untuk bertemu dengan Cindy, teman Aiesec yang saya titipi topi panda beberapa minggu lalu. Beruntungnya saya pada saat itu, saya diantar Cindy untuk mengelilingi taman bersejarah di Fouzhong. Saya jadi tidak terlalu menganggur hari itu. Dan pada malam harinya, saya langsung berangkat menuju main station untuk menemui sahabat-sahabat saya itu.

Sesampainya di main station, hanya ada Steven. Kita menunggu cukup lama disana karena Yaw dan kedua adiknya belum juga datang. Malam itu, saya sempatkan untuk membeli tiket bis disana. Steven pun mengantar saya. Kita mengobrol dan menghabiskan waktu demi menghilangkan kejenuhan di tengah keramaian Taipei main station pada malam itu. Yaa.. Tahun baru cina tinggal beberapa hari lagi. Semua orang sudah mulai banyak yang membawa koper besar, berlalu lalang di stasiun untuk mengunjungi keluarganya. Kita mengobrol sampai pada akhirnya Yaw dan kedua adiknya tiba, dan kemudian kita melanjutkan perjalanan menuju Taipower Building Station, menuju Shidda untuk mengunjungi pasar malamnya.

Menyadari bahwa malam itu akan menjadi malam terakhir untuk saya bertemu dengan Yaw, selama perjalanan, saya meminta Yaw untuk selalu dekat dengan saya. Dia dan kedua adiknya memang tidak langsung terbang ke Malaysia di keesokan harinya. Namun esok hari, saya sudah harus pergi ke Taichung meninggalkan Taipei, dan mereka beserta Steven juga akan pergi menuju Taroko di Hualien. Ini malam terakhir bagi kita, terkecuali Steven. Saya dan Steven masih bisa bertemu karena kami merencanakan untuk pergi ke Alishan bersama gurunya dari Wulai.

Ada kejadian lucu pada saat kita makan malam di suatu restoran korea di Shida Night Market. Saat kita makan bersama, Yaw melakukan kontak mata dengan saya dan juga Steven yang menafsirkan bahwa ada sesuatu diantara kita berdua. Disitu saya hanya pura-pura tidak mengerti. Tapi saya senang sekali pada malam itu, karena Steven pun sangat membaur dengan saya terutama ketika kita berdua berfoto dengan pose sambil menutup sebagian wajah. Romantis.



Sekitar jam 10, kita pergi meninggalkan Shidda. Saatnya saya mengucapkan selamat tinggal kepada Yaw. Yaw sangat baik sekali kepada saya. Ia sosok kakak yang baik bagi saya. "You are the nicest guy I have ever met", saya bilang. Yaa.. Tidak seperti Steven yang sangat hambar dan datar, Yaw sangat perhatian dan inisiatif. Dia selalu mendahulukan kepentingan saya daripada dirinya atau bahkan adik-adiknya. Sedikit haru biru saat saya berpisah dengan dia saat mereka harus kembali ke hotel mereka di Ximen dan saya harus kembali ke asrama saya di Shanjia.

Winter Love - Part III (Airport, CKS Memorial Hall & Night Market)

Di pertemuan kelima ini, ini adalah hari yang bertepatan dengan kepulangan sahabat setia saya selama saya di Taiwan. Ia kembali ke negara asalnya di Vietnam. Saya sangat sedih. Saya tidak tidur semalaman karena ingin menghabiskan waktu terakhir bersama teman sekamar saya. Selain itu, yang membuat saya sedih adalah saya menyadari bahwa saya akan tinggal benar-benar sendiri di asrama saya. Sahabat saya take off sangat pagi, dan saya merasa tidak ingin kembali ke asrama sepagi itu. Saya mencoba menghubungi teman saya, Yaw Boon, tapi tak ada jawaban. Ingin sekali saya menghubungi Steven, tapi rasanya malas sekali. Setelah kejadian semalam di Farewell Dinner untuk Anh, sahabat saya, ia bersikap sangat menyebalkan. Meskipun beberapa menit sebelum Farewell Dinner kita menghabiskan waktu bersama dengan sangat menyenangkan di Wulai, tetap saja kejadian tersebut membuat saya sedikit ilfill kepada Steven. Dia ingin sekali bertemu dengan teman Australianya pada malam itu, dan saya menyarankan dia untuk pergi ke bandara agar bisa menemuinya terakhir kali. Tapi sampai pagi itu, Steven belum juga mengabari saya bahwa ia akan pergi ke Bandara, padahal itu adalah ide saya dan saya yang mengajukan dan mengajak.

Setelah hampir 20 kali saya mencoba menelpon Yaw, akhirnya ia mengangkat telepon saya. Sayangnya saya tidak bisa menemuinya pagi itu. Kita berencana untuk bertemu siang hari di Taipei Main Station. Hari itu rencana kita adalah pergi ke bandara. Selain untuk melihat Jia Min, teman Australia kita, untuk yang terakhir kali, kita juga akan menjemput adik-adiknya Yaw yang sengaja berlibur ke Taiwan.

Sesampainya di main station, saya tidak bisa bertemu Yaw langsung karena ia harus pergi ke Ximen untuk check in. Ia sebenarnya menyarankan saya untuk segera bertemu Steven yang memang juga sudah sedari tadi di main station, tapi saya malas sekali. Karena saya mati gaya setengah mati, maka dengan berat hati akhirnya saya menelpon Steven dan menemuinya. Kita bertemu di depan Starbuck Cafe.

Detik-detik di momen ini, saya sangat membenci Steven. Saya pasang muka sangat jutek. Ia bersikap seolah-olah benar-benar mengacuhkan saya yang jelas-jelas sudah memberi ide untuk berangkat bersama ke bandara. Steven sangat datar sekali. Dia pun menganggap masalah saya yang akan tinggal sendirian di asrama menjadi masalah yang biasa saja. Padahal asrama dan letak tempat tinggal saya tidak seenak dan senyaman dia. Tapi dia memang benar-benar hambar.

Beberapa menit kemudian, Yaw pun tiba. Kita bertiga melanjutkan perjalanan menuju bandara. Cukup jauh. Membutuhkan satu jam perjalanan menuju ke Taoyuan International Airport. Selama di perjalanan, keadaan sedikit mencair karena Steven duduk di sebelah saya dan kita selalu melakukan kontak mata berdua. Yaa.. Memang semenjak kejadian semalam di Farewell Dinner dimana Anh sengaja membuat hubungan antara saya dan Steven sebagai lelucon, Yaw jadi menyadarinya. Yaw jadi selalu memberikan jarak agar Steven bisa berduaan bersama saya. Begitulah yang terjadi di bis. Saya dan Steven berdekatan.



Sesampainya di bandara, kami bercengkaram dengan Jia Min, dan juga menjemput adik-adik Yaw. Kita berencana untuk membawa kedua adik Yaw mengelilingi Taipei terlebih dahulu. Akhirnya kita pun memutuskan untuk pergi ke CKS Memorial Hall dan mengunjungi Night Market di Longshan Temple. Mereka berencana untuk mencicipi sup ular. Unik sekali.



Selama perjalanan, saya kurang menikmati momen-momen disana. Steven banyak mengobrol dengan Yaw dan mengabaikan saya dengan kedua adiknya. Saya belum begitu akrab dengan kedua adiknya, tapi saya mencoba mengakrabkan diri dengan adik perempuannya berhubung saya merasa diabaikan oleh mereka berdua.

Tidak banyak kejadian romantis selama disini, tapi yang pasti kejadian romentis kecil-kecil yang mungkin terabaikan dan tak tersadari mungkin banyak. Kontak mata yang selalu dilakukan Steven, bahasa halus yang saya tunjukkan, dan obrolan kecil antara kita berdua selalu ada tiap kita bertemu dan jalan bersama.

Di hari itu, Yaw bahkan lebih perhatian daripada Steven. Dia selalu menawarkan jaketnya ketika saya mengeluh kedinginan, Dia selalu meminta maaf berkali-kali dan memohon ijin setiap ia akan makan daging babi di depan saya. Dan dia pun selalu menanyakan kabar saya sebelum saya pulang dan setelah saya sampai di rumah. Saya suka Yaw, tapi mungkin ia sedikit sungkan setelah kejadian di farewell dinner tersebut. Tapi tak apalah. Saya sayang mereka berdua seperti kakak saya sendiri. Yang saya miliki hanya mereka berdua pada saat itu, karena semua peserta exchange telah kembali ke negaranya masing-masing. Itulah mengapa kita selalu menyusun rencana untuk mengunjungi suatu tempat bersama. Kita bertiga sangat kompak.

Winter Love - Part II (Wulai)

Pertemuan keempat dengan dia. Kali ini kita berencana untuk mengunjungi tempat tinggalnya Steven di Wulai. Kita merencenakan hal ini karena jauh sebelum kita bertemu untuk pergi ke Sanxia, saya selalu menawarkan Steven untuk mau mengajak saya keliling Wulai, tempat tinggalnya, karena saya dengan tempat itu merupakan salah satu tempat yang harus dikunjungi di Taipei.

Rencana awalnya, perjalanan ini hanya terdiri dari saya dan Steven saja. Tapi berhubung teman saya, Yaw Boon, sudah kembali ke Taipei dari Yun Lin, jadi apa salahnya saya juga mengajak dia pergi bersama. Setelah saya memikirkan hal-hal yang lebih jauh dan lebih personal, saya rasa saya salah telah mengajak Yaw Boon pergi bersama saya ke Wulai. Jika hanya ada saya dan Steven, mungkin perjalanan saya di Wulai akan jauh lebih menyenangkan dan menarik. Tapi apa daya. Nasi sudah menjadi bubur. Namun.. Dari sinilah keyakinan saya sedikit goyah. Dimulai dari sini, hati saya lebih memilih untuk bersama Yaw daripada Steve. Dan kebetulan, Steve selalu membuat jarak agar saya dan Yaw bisa berdekatan. Mungkin ia tidak memiliki tujuan apapun. Mungkin karena kita berdua adalah tamu bagi Steve, jadi ia lebih memuliakan kita berdua, dan jadilah kesannya lebih ke pasangan daripada ke tamu.





Di Wulai, tidak banyak kejadian romantis yang saya alami antara saya dengan Steven, karena saya lebih meluangkan waktu sendiri berhubung Steven dan Yaw selelu memilih untuk mengobrol berdua. Lagipula, Steve selalu menyisakan tempat untuk saya dan Yaw berdua. Ditambah saya memang lebih menikmati alam di Wulai daripada mengobrol dan memperhatikan Steve dan Yaw.

Kejadian seru yang saya alami selama di Wulai adalah ketika berada di perjalan pulang ke Taipei. Saya, Yaw, dan Steve berdiri berdempetan di bis yang rute jalannya sangat berliku membuat kita bertiga terguncang. Lucu dan heboh sekali. Ditambah dengan obrolan saya mengenai daging babi yang membuat mereka tertawa. Saya berakting seolah saya pernah makan daging babi pada saat saya mencicipi ayam gunung yang saya beli di Wulai. Pada saat itu, Steve melarang saya dengan sangat keras untuk tidak meminum alkohol dan juga daging babi. Ia bertindak sangat posesif dan saya suka.




Kejadian yang tak terlupakan juga terjadi pada saat kita bertiga berada di asrama Steven. Saya memberikan ia dua bungkus mie goreng khas Indonesia, karena ia selalu membicarakan mie goreng dan ia sangat menyukai jenis mie khas Indonesia tersebut. Ketika saya pergi ke dapur dan memberikan mie tersebut kepada dia, dengan sanggat gembira Steven tiba-tiba memeluk saya sambil mengucapkan banyak terima kasih. Saya sedikit terkejut, tapi saya senang melihat dia senang. Dan sebelum kita meninggalkan asramanya, Steven memainkan sebuah piano dengan melodi yang sangat sempurna cantiknya. Saya sangat terkesan! Sampai sekarang, saya pun masih sering memainkan video yang saya rekam ketika ia memainkan melodi tersebut di pianonya.

Wulai tak akan pernah saya lupakan..

Winter Love - Part I (Sanxia Old Street)

Hallo, Sobat!
Lama tak jumpa dan bersua.

Saya sedikit lelah dengan jaringan internet disini. Dua bulan penuh saya di Taiwan, saya memang tidak pernah terlewat untuk menulis di blog saya di tiap harinya. Awalnya, itu bukan karena keranjingan atau memang kesenangan, tetapi karena keterpaksaan. Lagipula, saya akan jauh dari Taiwan, maka saya ingin membingkai seluruh kenangan yang saya alami ke dalam bentuk kata per kata. Dan kali ini, setelah kembali ke negara asal saya dan kembali menjalani kehidupan semula, saya merasa sangat malas untuk menulis pengalaman demi pengalaman yang terjadi. Dan pada malam ini pun, saya ingin bercerita masih tentang Taiwan. Kisah yang terlewat, yang hanya saya bahas selintas di postingan sebelumnya. Saya ingin memaparkannya secara lebar disini. Semua tentang... winter love, atau sering juga disebut cinta semusim.

Exchange is about winter love, some people said.
Saya ingin memilikinya. Namun pertanyaannya, apakah saya bisa?

Hari demi hari terlewati, saya hanya menjalani rutinitas exchange saya hanya berjalan normal seperti biasa. Saya hanya bergaul dengan kedua orang teman seasrama saya dari projek yang sama. Semua berjalan sangat normal sampai saya menghadiri konferensi di Tamsui. Saya berbaur dengan banyak peserta exchange lain dari negara-negara yang berbeda. Saya dengan sengaja duduk berjauhan dengan teman seasrama saya agar saya bisa lebih berbaur dengan teman-teman baru disana, dan saya duduk di dekat jendela dengan baris yang sama dengan salah satu peserta exchange dari Australia bernama Steven.

Steven sebenarnya duduk 2 bangku di depan saya. Tepat di depan saya, ada peserta dari Malaysia yang berkuliah di Australia bernama Yaw Boon. Ia sangat manis dan gagah. Bukan hanya itu, saat pertama bertemu, dia membuat saya terkesan dengan sikapnya yang super baik hati dengan mempersiapkan makanan saya yang tanpa daging bai. Dia berkebudayaan Malaysia meskipun dia memang asli keturunan Cina. Otomatis, dengan sekali saja dia melihat penampilan saya yang berkerudung rapi, dia tahu jelas apa yang tidak bisa saya makan (karena dilarang oleh agama) dan apa yang bisa saya makan. Awalnya saya sempat ingin menjalin hubungan teman dekat dengan Yaw, tetapi nampaknya pada saat itu ia lebih memilih bergaul dengan teman-teman cinanya. Saya sibuk menyibukkan diri hingga pada akhirnya Steven membuka topik perbincangan mengenai agama saya.



Steven banyak berbicara mengenai pengalaman-pengalamannya belajar mengenai Islam. Nampaknya ia cukup banyak tahu tentang Islam. Dia bercerita bahwa ia pernah belajar tentang sejarah mengenai agama-agama di dunia, dan ia juga pernah mengunjungi salah satu tempat di Australia yang mayoritas penduduknya adalah warga muslim. Selain itu, ia juga pernah berteman dengan orang yang beragama islam. Kita membuat percakapan semakin seru dengan saling tukar pengalaman mengenai Islam.

Saya terkesan dengan pengetahuannya yang luas. Kita tenggelam di dalam percakapan panjang selama konferensi. Di hari pertama konferensi yang ditutup dengan pesta, ketika semua orang meminum alkohol, saya yang tidak bisa meminum minuman tersebut hanya bisa menikmati pesta dengan sedikit caanggung. Bagaimana tidak, meskipun itu hanya di dalam kelas dengan lampu yang sangat minim, tetap saja atmosfir ruangan tersebut benar-benar seperti diskotik. Saya memang kampungan karena tidak pernah tahu dan merasakan hal ini. Tapi pada saat itu saya mencoba menikmati acara tersebut. Entah saya yang tidak bisa menyembunyikan perasaan atau entah Steven memang sangat meperhatikan saya, ia tiba-tiba menanyakan keadaan saya. Ia seperti sangat khawatir saya akan sangat bosan. Ia menyuruh saya untuk menikmati acara ini sambil terus menanyakan kondisi saya. Saya menenangkan dia bahwa saya dalam kondisi yang baik, dan saya pun meminta antar ia ketika saya ingin mencari air putih diluar. Panitia tidak menyiapkan minuman jenis lain selain alkohol pada malam itu, sehingga saya harus pergi keluar mencari dispenser (barang ini sangat umum di Taiwan, dan tersedia dimana-mana di pinggir jalan atau di tempat umum). Jalan yang saya tempuh cukup jauh dari ruangan pesta dan cukup gelap. Saya hanya menikmati perjalanan tersebut bersama Steven dengan sedikit gerimis yang menemani kita berdua. Malam itu saya senang sekali.

Hari kedua konferensi adalah acara Global Village dimana seluruh peserta exchange diharuskan untuk menampilkan kebudayaan dari negaranya masing-masing. Saya masih terpaku dengan Steven. Tapi pada saat itu, saya tidak bisa berdekatan karena jarak booth kita berdua memang sedikit jauh. Jujur saja, pada saat itu, saya adalah peserta exchange yang paling menarik. Bagaimana tidak, saya yang berjilbab rapi dinalut dalam busana kebaya yang sangat anggun. Semua orang yang lewat selalu meminta untuk berfoto. Tidak ada seorang pun yang tidak mengatakan kata 'Piao Liang' yang artinya 'Cantik' kepada saya. Saya senang sekali, bak artis sehari pada saat itu.



Saya tidak banyak berkomunikasi dengan Steven pada saat itu. Tapi setelah acara Global Village selesai dan beberapa menit sebelum saya berangkat pulang menuju Shanjia, tempat tinggal saya, ternyata Steven menunggu saya. Ia menunggu konfirmasi saya apa saya ingin ikut dinner bersama dia dan teman-temannya atau akan langsung pulang. Pada malam itu, teman sekamar saya ingin pergi ke gereja, maka kami putuskan untuk langsung pulang. Baik hatinya Steven telah bersedia menunggu saya sebelum berangkat bersama teman-temannya. Saya berterima kasih sekali kepada Tuhan karena telah dipertemukan dengan Steven pada konferensi tersebut.

Setelah itu, kehidupan saya sedikit berubah. Tak banyak memang. Awalnya saya ingin sekali mewujudkan winter love, tapi kenyataannya, tidak ada yang bisa diharapkan. Steven begitu menikmati hari-harinya dengan teman-teman Australianya. Saya hanya bisa chatting via Skype dengannya di internet, virtual communication. Saya hanya meyakinkan diri untuk tidak terlalu banyak berharap untuk memiliki winter love di exchange ini. Semuanya berjalan sesuai rencana sampai pada akhirnya teman-teman Australianya satu per satu pulang ke negaranya masing-masing. Ia kesepian, begitupun saya. Lalu kita berdua menyusun liburan bersama.

Setelah pertemuan di dua-hari konferensi, dan juga pertemuan sekilas di acara tahun baruan di Taipei 101, kita menyusun rencana untuk pergi ke Sanxia Old Street. Kami hanya pergi berdua. Pada saat itu, teman sekamar saya awalnya ingin bergabung. Tapi dengan kerendahan hatinya, ia hanya membiarkan saya menimati momen-momen bersama Steve berdua saja.

Sebelum pergi ke Sanxia Old Street, saya mengajak dia mengunjungi Ceramics Museum di Yingge dan juga Yingge Old Street. Ia sangat puas dengan tur yang saya berikan. Layaknya seorang tour guide, saya memperkenalkan tempat-tempat di Yingge. Bukan karena saya tahu banyak, tetapi saya pernah mengunjungi tempat itu sekali. Jadi saya setidaknya bisa mengarahkan seseorang kesini.Kami sangat menikmati waktu-waktu kami di Yingge, Hingga tengah hari, kami putuskan untuk pergi ke Sanxia Old Street.

Bagi saya, ini adalah momen yang sangat luar biasa romantis. Ini pertama kalinya saya pergi berdua dengan laki-laki yang bukan pacar saya, dan juga kita adalah sesama foreigner. Kita berasal dari negara dan kebudayaan yang berbeda, dan berada di tempat yang asing bagi kita berdua. Momen-momen yang terjadi disini sangat tak terlupakan.




Kita berdua sebenarnya tidak tahu sama sekali arah untuk pergi ke Sanxia Old Street. Dengan modal nekat, kita berdua akhirnya berhasil menemukan Sanxia Old Street tersebut. Setiap kita berdua berhasil menemukan spot yang diinginkan, Steve selalu mengajak saya untuk'high five'. Perjalanan yang sangat seru! Di sepanjang perjalanan, kita berbicara banyak. Steve memang senang mengobrol. Saya yang walaupun sifat asli saya periang dan banyak bicara, pada saat itu saya hanya bisa menyimak dan sedikit berbicara dengan ekspresi wajah yang selalu menunjukkan malu-malu. Saya rasa bahasa Inggris saya tidak sebagus dia, ditambah saya memang sedikit gugup jalan dengan orang asing. Itulah mengapa saya hanya diam saja.




Hari sudah makin sore, dan kita berdua pun memutuskan untuk pulang. Kami naik bis menuju Shanjia tempat saya, agar kemudian Steven bisa mengambil kereta dari Shanjia menuju Taipei Main Station. Setelah kita turun dari bis, saya sengaja mengantarkan dia menuju stasion. Saat ia akan masuk gerbang pemindaian kartu, dan saya pun sudah bersiap mengucapkan selamat tinggal, Steven tiba-tiba menarik saya dan memeluk saya sambil mengucapkan 'sampai jumpa' dengan pelafalan yang sedikit aneh. Saya mengajarkan dia beberapa ungkapan dalam bahasa Indonesia di pagi harinya sebelum kita berangkat menuju Sanxia. Tapi saya sangat tidak menyangka bahwa ia akan menggunakannya dan mepraktekkannya langsung di saat kita berdua harus berpisah. Ditambah pelukannya yang tiba-tiba, membuat saya sangat terkejut. Wajar memang untuk dia, tapi tidak untuk saya. Dengan berusaha menenangkan diri, saya pulang ke asrama dengan wajah yang sangat berseri-seri. Saya tidak akan melupakan kejadian ini, pikir saya.