Saturday 21 May 2011

Pesantren - Part I

Saya lahir dari keluarga yang sangat perhatian terhadap ilmu agama. Kami bukan dari kaum ulama atau ustadz-ustadzah. Keluarga saya hanya keluarga biasa yang terbiasa dengan hal-hal keagamaan. Semenjak lahir, saya belajar di surau di samping rumah. Tapi itu cenderung mirip yayasan biasa, karena jika kita mendengar kata ‘surau’, itu akan lebih seperti tempat mengaji yang berada di tempat yang terpencil. Kebetulan yayasan pengajian itu berada di belakang rumah saya. Saya TK disana. Saat masuk SD, saya tetap mengaji disana. Pengajian itu biasa disebut ‘sekolah sore’ karena diadakan setiap setelah pulang sekolah sehabis ashar dan mayoritas muridnya adalah anak sekolah juga. Saya mengikuti sekolah sore sampai saya tingkat 5 sekolah dasar. Semenjak saya menginjak kelas 5 SD, saya dikenalkan dengan dunia pesantren. Pesantren itu bernama Darul Ulum. Jarak pesantren itu adalah sekitar 8 menit dengan menggunakan sepeda motor. Ini lah yang lebih mirip untuk disebut surau. Saya pulang pergi menuju pesantren itu. Setelah pulang sekolah sekitar jam 12, saya istirahat dan menghapal teori untuk mengaji di surau, jam 3 setelah solat ashar, saya diantar oleh bapak menuju surau itu.

Santri Salap & Santri Kalong

Di pesantren, ada dua istilah untuk jenis santri. Ada santri salap (dari kata salafiyah), ada santri kalong. Santri salap adalah santri yang menetap di pesantren yang pulang kampung sekitar setahun sekali atau tiap ied (adha & fitri), sedangkan santri kalong adalah santri yang pulang pergi ke rumah setiap harinya. Meskipun seorang santri kalong itu tidur di pesantren dan jarang pulang ke rumah, tetap ia disebut Santri Kalong, karena tidur di situ diartikan sebagai menginap, meskipun menginap selama satu bulan. Sebenarnya perbedaan yang signifikan itu terlihat dari tujuannya. Santri Kalong itu biasanya santri yang mengaji di samping ia sekolah, sedangkan santri salap biasanya menjadi santri full karena ia sudah tidak meneruskan sekolahnya lagi, karena ia fokus kepada mengaji. Tapi....... Karena biasanya santri salap itu dari kampung yang sangaaaat terpencil, tujuan mereka selain mengaji adalah ‘menunda pernikahan’. Hehehe. Mereka biasanya tamatan SD dan tidak meneruskan sekolah lagi karena perkara biaya dan atau orangtua mereka memnginginkan anak-anaknya untuk memperoleh ilmu yang mendalam mengenai keagamaan.

Saat pertama kali saya menuju pesantren tersebut, saya tidak merasakan hal-hal yang random. Konsepnya memang sangaaaat jadul. Bukan konsep sih, memang keadaannya yang seperti itu. Saat saya sadar bahwa pesantren itu sedikit berbeda adalah ketika saya mulai menceritakan pengalaman saya ini ke teman-teman.

Kobong

Istilah untuk kamar di pesantren adalah ‘Kobong’. Di Darul Ulum, kobong santri perempuan hanya satu, sedangkan kobong santri laki-laki ada beberapa, sekitar 10 kobong. Santrinya cenderung lebih banyak santri perempuan. Untuk kobong laki-laki, ada sekitar 3 sampai 6 orang per kobong, sedangkan untuk perempuan.. there were about 20 people in a raw! Jadi untuk santri perempuan, satu kobong terdiri sekitar 40-50 orang dalam satu kobong. Bentuk ruangannya persegi panjang. Panjaaang sekali. Ada 2 kolom dan 1 baris dalam jajaran tidur, LOL.

Pengajian

Jadwal mengaji ada 6 waktu dalam satu hari. Pengajian setelah solat fardu dan pengajian pagi setelah dhuha. Tapi pengajian yang saya maksud disini bukan pengajian seperti tadarus, mengaji alquran ataupun mendengarkan ceramah. Pengajian disini adalah mengaji kitab kuning. Jadi, sang guru akan membacakan tulisan yang ada di kitab lalu mengartikannya dan kemudian akan menjelaskan. Kemudian kita akan menerjemahkan (disebut melogat, yaitu menuliskan terjemahan aksara gundul dg tulisan arab yang ditulas secara diagonal ke bawah) di kitab kita. Pada saat menerangkan, kita mendengarkan, dan setelah selesai menjelaskan, kita akan membaca aksara gundul tersebut berikut dengan terjemahannya (logatannya). Disini, ada yang menuliskan baris-baris (fatah, kasroh, atau dhomah) di atas aksara gundul, ada pula yang menghapal atau mengerti ilmu alat (sebutan untuk ilmu yang di pakai untuk membaca aksara gundul. Eg. Jurumiyah, Imritii, Alfiyah). Dan lucunya lagi, terkadang sebagian santri tidak bisa membaca hasil logatannya sendiri, LOL. Mereka baru belajar melogat.

Oke, saya akan paparkan jadwal para santri:

03.00 : Bangun pagi. Tahajjud dan tadarus

04.30 : Shalat shubuh berjamaah dan dzikir bersama

05.00 : Pengajian (mengenai Hadits Arba’in)

06.00 : Kembali ke kobong

06.15 : Piket masing-masing bagian (ada piket masak, piket membersihkan kobong, piket menyapu halaman, piket menyapu dan mengepel aula pengajian utama/aula samping/aula belakang, dan juga piket menyuci dan memasak di rumah guru)

06.35 : Sarapan. Mandi. Mengulang membaca materi.

07.00 : Pengajian (mengenai fikih; kitab safinah atau tafsir)

09.00 : kembali ke kobong. Mandi (bagi yang pagi tidak kebagian jatah mandi). Mengulang membaca materi.

10.00 : Piket masak (bagi yang piket). Istirahat. Menyuci. Tidur siang.

11.30 : Wudu. Tadarus.

12.00 : Shalat dzuhur berjamaah dan dzikir bersama.

12.30 : Pengajian (mengenai akidah akhlak)

13.30 : Kembali ke kobong. Mengulang materi. Makan siang. Istirahat.

14.30 : Wudu. Tadarus.

15.00 : Shalat ashar berjamaah dan dzikir bersama

15.30 : Pengajian (mengenai ilmu alat; jurumiyah/alfiyah)

16.30 : Kembali ke kobong. Mengulang materi. Makan sore.

17.30 : Wudu. Tadarus.

18.00 : Shalat magrib berjamaah dan dzikir bersama

18.30 : Hapalan alqur’an

19.00 : Shalat isya berjamaah dan dzikir bersama

19.30 : Pengajian (mengenai tauhid dan ilmu alat)

20.30 : Kembali ke kobong. Mengulang materi.

21.30 : Menghapal materi

22.00 : Tidur. Istirahat.

Sekarang saya akan menceritakan mengenai kehidupan disana, khususnya para santri salap.

Kondisi Tempat Tidur

Saya bisa dibilang orang paling ‘berada’ disana pada saat itu. Setiap santri, khususnya santri salaf, hanya membawa tas yang berisi baju-baju mereka. Untuk lemari atau rak buku, ia akan meminta sekitar 2 kardus mie instann kepada pemilik warung di sekitar. Satu kardus untuk baju-bajunya, dan satu kardus untuk buku dankitab-kitabnya. Apakah cukup baju, daleman, kerudung dan rok dalam satu kardus? Cukup, bagi mereka. Karena mereka tidak akan membawa pakaian lebih dari 3 atau 4 pasang.Kardus kardus tersebut akan dijejerkan di bawah menyesuaikan dengan panjang dinding yang nantinya pemilik kardus akan tidur dengan kardus di atas bagian kepalanya atau di bawah bagian kakinya. Untuk alas tidur? Mereka tidak menggunakan alas. Padahal mereka tidur di atas kayu panjaaang yang tiap sekita 10 cm ada sela-sela udara. Mereka hanya mengandalkan selimut mereka, yaitu menggunakan sarung, untuk mengatasi udara pada malam hari. Untuk bantal, ada sebagian santri yang membawa dari rumahnya atas kesadaran sendiri, dan ada juga yang menggunakan bantal warisan dari generasi sebelumnya. Yang tidak sempat membawa bantal dari rumah dan tidak mendapatkan jatah bantal dari warisan kakak kelas? Ia tidur dengan menggunakan tumpukan baju-bajunya yang digulung dengan handuk. Kita akan tidur layaknya ikan bandeng yang sedang dijemur. Kepala akan bertemu kaki.

Bangun Tidur

Kita harus bangun sebelum subuh. Sebenarnya diwajibkan untuk bangun jam 3, untuk tahajjud atau sahur untuk yang akan puasa sunnah atau qada, tapi bagi sebagian santri yang nakal, biasanya santri kalong, mereka lebih memilih bangun sebelum subuh. Malah ada yang bangun pas dengan adzan subuh. Menurut peraturan pesantren, santri harus sudah siap di mushola (untuk santri perempuan) sebelum adzan berkumandang. Namun begitulan peraturan, pasti saja ada yang melanggar.

Yang bangun jam 3, mereka akan segera mengambil wudu, solat tahajjud, lalu tadarus sampai adzan subuh tiba.

No comments:

Post a Comment