Hallo, Sobat!
Lama tak jumpa dan bersua.
Saya sedikit lelah dengan jaringan internet disini. Dua bulan penuh saya di Taiwan, saya memang tidak pernah terlewat untuk menulis di blog saya di tiap harinya. Awalnya, itu bukan karena keranjingan atau memang kesenangan, tetapi karena keterpaksaan. Lagipula, saya akan jauh dari Taiwan, maka saya ingin membingkai seluruh kenangan yang saya alami ke dalam bentuk kata per kata. Dan kali ini, setelah kembali ke negara asal saya dan kembali menjalani kehidupan semula, saya merasa sangat malas untuk menulis pengalaman demi pengalaman yang terjadi. Dan pada malam ini pun, saya ingin bercerita masih tentang Taiwan. Kisah yang terlewat, yang hanya saya bahas selintas di postingan sebelumnya. Saya ingin memaparkannya secara lebar disini. Semua tentang... winter love, atau sering juga disebut cinta semusim.
Exchange is about winter love, some people said.
Saya ingin memilikinya. Namun pertanyaannya, apakah saya bisa?
Hari demi hari terlewati, saya hanya menjalani rutinitas exchange saya hanya berjalan normal seperti biasa. Saya hanya bergaul dengan kedua orang teman seasrama saya dari projek yang sama. Semua berjalan sangat normal sampai saya menghadiri konferensi di Tamsui. Saya berbaur dengan banyak peserta exchange lain dari negara-negara yang berbeda. Saya dengan sengaja duduk berjauhan dengan teman seasrama saya agar saya bisa lebih berbaur dengan teman-teman baru disana, dan saya duduk di dekat jendela dengan baris yang sama dengan salah satu peserta exchange dari Australia bernama Steven.
Steven sebenarnya duduk 2 bangku di depan saya. Tepat di depan saya, ada peserta dari Malaysia yang berkuliah di Australia bernama Yaw Boon. Ia sangat manis dan gagah. Bukan hanya itu, saat pertama bertemu, dia membuat saya terkesan dengan sikapnya yang super baik hati dengan mempersiapkan makanan saya yang tanpa daging bai. Dia berkebudayaan Malaysia meskipun dia memang asli keturunan Cina. Otomatis, dengan sekali saja dia melihat penampilan saya yang berkerudung rapi, dia tahu jelas apa yang tidak bisa saya makan (karena dilarang oleh agama) dan apa yang bisa saya makan. Awalnya saya sempat ingin menjalin hubungan teman dekat dengan Yaw, tetapi nampaknya pada saat itu ia lebih memilih bergaul dengan teman-teman cinanya. Saya sibuk menyibukkan diri hingga pada akhirnya Steven membuka topik perbincangan mengenai agama saya.
Steven banyak berbicara mengenai pengalaman-pengalamannya belajar mengenai Islam. Nampaknya ia cukup banyak tahu tentang Islam. Dia bercerita bahwa ia pernah belajar tentang sejarah mengenai agama-agama di dunia, dan ia juga pernah mengunjungi salah satu tempat di Australia yang mayoritas penduduknya adalah warga muslim. Selain itu, ia juga pernah berteman dengan orang yang beragama islam. Kita membuat percakapan semakin seru dengan saling tukar pengalaman mengenai Islam.
Saya terkesan dengan pengetahuannya yang luas. Kita tenggelam di dalam percakapan panjang selama konferensi. Di hari pertama konferensi yang ditutup dengan pesta, ketika semua orang meminum alkohol, saya yang tidak bisa meminum minuman tersebut hanya bisa menikmati pesta dengan sedikit caanggung. Bagaimana tidak, meskipun itu hanya di dalam kelas dengan lampu yang sangat minim, tetap saja atmosfir ruangan tersebut benar-benar seperti diskotik. Saya memang kampungan karena tidak pernah tahu dan merasakan hal ini. Tapi pada saat itu saya mencoba menikmati acara tersebut. Entah saya yang tidak bisa menyembunyikan perasaan atau entah Steven memang sangat meperhatikan saya, ia tiba-tiba menanyakan keadaan saya. Ia seperti sangat khawatir saya akan sangat bosan. Ia menyuruh saya untuk menikmati acara ini sambil terus menanyakan kondisi saya. Saya menenangkan dia bahwa saya dalam kondisi yang baik, dan saya pun meminta antar ia ketika saya ingin mencari air putih diluar. Panitia tidak menyiapkan minuman jenis lain selain alkohol pada malam itu, sehingga saya harus pergi keluar mencari dispenser (barang ini sangat umum di Taiwan, dan tersedia dimana-mana di pinggir jalan atau di tempat umum). Jalan yang saya tempuh cukup jauh dari ruangan pesta dan cukup gelap. Saya hanya menikmati perjalanan tersebut bersama Steven dengan sedikit gerimis yang menemani kita berdua. Malam itu saya senang sekali.
Hari kedua konferensi adalah acara Global Village dimana seluruh peserta exchange diharuskan untuk menampilkan kebudayaan dari negaranya masing-masing. Saya masih terpaku dengan Steven. Tapi pada saat itu, saya tidak bisa berdekatan karena jarak booth kita berdua memang sedikit jauh. Jujur saja, pada saat itu, saya adalah peserta exchange yang paling menarik. Bagaimana tidak, saya yang berjilbab rapi dinalut dalam busana kebaya yang sangat anggun. Semua orang yang lewat selalu meminta untuk berfoto. Tidak ada seorang pun yang tidak mengatakan kata 'Piao Liang' yang artinya 'Cantik' kepada saya. Saya senang sekali, bak artis sehari pada saat itu.
Saya tidak banyak berkomunikasi dengan Steven pada saat itu. Tapi setelah acara Global Village selesai dan beberapa menit sebelum saya berangkat pulang menuju Shanjia, tempat tinggal saya, ternyata Steven menunggu saya. Ia menunggu konfirmasi saya apa saya ingin ikut dinner bersama dia dan teman-temannya atau akan langsung pulang. Pada malam itu, teman sekamar saya ingin pergi ke gereja, maka kami putuskan untuk langsung pulang. Baik hatinya Steven telah bersedia menunggu saya sebelum berangkat bersama teman-temannya. Saya berterima kasih sekali kepada Tuhan karena telah dipertemukan dengan Steven pada konferensi tersebut.
Setelah itu, kehidupan saya sedikit berubah. Tak banyak memang. Awalnya saya ingin sekali mewujudkan winter love, tapi kenyataannya, tidak ada yang bisa diharapkan. Steven begitu menikmati hari-harinya dengan teman-teman Australianya. Saya hanya bisa chatting via Skype dengannya di internet, virtual communication. Saya hanya meyakinkan diri untuk tidak terlalu banyak berharap untuk memiliki winter love di exchange ini. Semuanya berjalan sesuai rencana sampai pada akhirnya teman-teman Australianya satu per satu pulang ke negaranya masing-masing. Ia kesepian, begitupun saya. Lalu kita berdua menyusun liburan bersama.
Setelah pertemuan di dua-hari konferensi, dan juga pertemuan sekilas di acara tahun baruan di Taipei 101, kita menyusun rencana untuk pergi ke Sanxia Old Street. Kami hanya pergi berdua. Pada saat itu, teman sekamar saya awalnya ingin bergabung. Tapi dengan kerendahan hatinya, ia hanya membiarkan saya menimati momen-momen bersama Steve berdua saja.
Sebelum pergi ke Sanxia Old Street, saya mengajak dia mengunjungi Ceramics Museum di Yingge dan juga Yingge Old Street. Ia sangat puas dengan tur yang saya berikan. Layaknya seorang tour guide, saya memperkenalkan tempat-tempat di Yingge. Bukan karena saya tahu banyak, tetapi saya pernah mengunjungi tempat itu sekali. Jadi saya setidaknya bisa mengarahkan seseorang kesini.Kami sangat menikmati waktu-waktu kami di Yingge, Hingga tengah hari, kami putuskan untuk pergi ke Sanxia Old Street.
Bagi saya, ini adalah momen yang sangat luar biasa romantis. Ini pertama kalinya saya pergi berdua dengan laki-laki yang bukan pacar saya, dan juga kita adalah sesama foreigner. Kita berasal dari negara dan kebudayaan yang berbeda, dan berada di tempat yang asing bagi kita berdua. Momen-momen yang terjadi disini sangat tak terlupakan.
Kita berdua sebenarnya tidak tahu sama sekali arah untuk pergi ke Sanxia Old Street. Dengan modal nekat, kita berdua akhirnya berhasil menemukan Sanxia Old Street tersebut. Setiap kita berdua berhasil menemukan spot yang diinginkan, Steve selalu mengajak saya untuk'high five'. Perjalanan yang sangat seru! Di sepanjang perjalanan, kita berbicara banyak. Steve memang senang mengobrol. Saya yang walaupun sifat asli saya periang dan banyak bicara, pada saat itu saya hanya bisa menyimak dan sedikit berbicara dengan ekspresi wajah yang selalu menunjukkan malu-malu. Saya rasa bahasa Inggris saya tidak sebagus dia, ditambah saya memang sedikit gugup jalan dengan orang asing. Itulah mengapa saya hanya diam saja.
Hari sudah makin sore, dan kita berdua pun memutuskan untuk pulang. Kami naik bis menuju Shanjia tempat saya, agar kemudian Steven bisa mengambil kereta dari Shanjia menuju Taipei Main Station. Setelah kita turun dari bis, saya sengaja mengantarkan dia menuju stasion. Saat ia akan masuk gerbang pemindaian kartu, dan saya pun sudah bersiap mengucapkan selamat tinggal, Steven tiba-tiba menarik saya dan memeluk saya sambil mengucapkan 'sampai jumpa' dengan pelafalan yang sedikit aneh. Saya mengajarkan dia beberapa ungkapan dalam bahasa Indonesia di pagi harinya sebelum kita berangkat menuju Sanxia. Tapi saya sangat tidak menyangka bahwa ia akan menggunakannya dan mepraktekkannya langsung di saat kita berdua harus berpisah. Ditambah pelukannya yang tiba-tiba, membuat saya sangat terkejut. Wajar memang untuk dia, tapi tidak untuk saya. Dengan berusaha menenangkan diri, saya pulang ke asrama dengan wajah yang sangat berseri-seri. Saya tidak akan melupakan kejadian ini, pikir saya.
No comments:
Post a Comment